Oleh: M.U. Ginting (Swedia)
Terkait dengan perdebatan
tentang gencarnya seruan “Karo bukan Batak” di berbagai forum diskusi internet
sekarang ini, menurut Robinson Ginting Munthe di mailing list Tanah Karo, ini
timbul karena: “Munculnya kesadaran komunal terutama dimulai generasi muda Karo
yang terdidik atas pencarian, penelusuran dan pelurusan jati diri mereka
sebenarnya. Tentu saja ke-Karo-an makin menguat sejalan dengan menguatnya kesadaran
untuk bertahan di tengah-tengah perebutan pengaruh macam-macam hal (Milis
Tanahkaro 31 Agustus 2011).
Renesans Karo,
gerakan pembebasan terutama secara politik dan kultural atau secara etnis, bisa
dikatakan memuncak secara drastis pada permulaan era reformasi. Di bagian dunia
lainnya sudah memuncak pada era kejatuhan kekuasaan sosialis/komunis di Eropah
Timur. Gerakan di Karo terutama dipelopori oleh pemuda/mahasiswa yang dengan
orgnisasinya menyandang nama Karo atau etnis Karo, serta aksi-aksi mereka
mengembangkan dan mempertahankan warisan/pusaka Karo seperti aksi di sekitar monumen Guru Patimpus di Medan, gerakan seni
budaya dalam musik, tari, lagu, teater, film dll, yang sangat drastis meluas ke
seluruh Tanah Air maupun luar negeri. Ini selalu dilaksanakan secara kolektif
(kerjasama sesama Karo) atau dengan orang di luar Karo sehingga juga
menunjukkan keakraban sejati etnis Karo.
Tekanan ‘sukuisme’ pada era lalu,
pada zaman Orla dan terutama Orba, sangat mengancam keberadaan dan perkembangan
Karo sebagai satu entitas kebudayaan tersendiri. Dalam persaingan etnis yang
sangat sengit, tetapi ditutupi dan ditakut-takuti dengan istilah sukuisme atau
SARA, tetapi di pihak lain perkembangan sukuisme sangat pesat dengan dukungan
pemerintah serta etnis-etnis mayoritas dominan mengembangkan politik etnisnya
dengan sangat lihai dan licik. Misalnya,
dengan alasan ‘satu nusa satu bangsa’, ‘persatuan dan kesatuan’, dsb.
Karo salah satu etnis minoritas yang tidak licik, mengalami kerugian besar.
Dairi Karo dimasukkan ke Taput, dan berduyunlah perpindahan orang-orang Batak
ke Dairi Karo. Di Kuta Pengkih (Kec. Mardinding, Kab. Karo), dibuat proyek
berkedok Proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Bukan hanya untuk
mendapat tanah tapi juga dana dari Pemerintah Pusat dan untuk memudahkan
pembalakan hutan. Hal ini pernah diprotes oleh Prof. Dr. Masri Singarimbun
semasa hidupnya melalui tulisannya di majalah GATRA (13 Januari 1996).
Menurutnya:
“… Karena penduduk setempat kurang tertarik untuk pindah ke
situ, akhirnya mayoritas penghuninya adalah orang luar. Hanya lima keluarga
yang merupakan penduduk setempat. Selebihnya orang luar yang berasal dari luar Kecamatan
Mardingding, dan malah dari luar Kabupaten Binjai serta Medan. Jadi, kecuali
suku Karo, PKMT Kuta Kendit dihuni oleh suku Toba, Pakpak, Simalungun, dan Jawa
…”.
Demikian juga desakan dan tekanan atas
etnis-etnis asli lainnya seperti Dayak dan Papua, etnis-etnis minoritas di
Poso, Maluku dsb. Gerakan renesans Karo dalam ethnic
rivival atau cultural revival yang sejalan dengan ethnic revival dunia pada umumnya
telah menghasilkan kemajuan dalam banyak hal. Bahkan telah menjadi salah satu
faktor yang mendorong etnis-etnis lain terpaksa ‘hengkang’ dari Sumut bikin
propinsi sendiri. Halangan terbesar dari pusat, karena di sana masih bercokol
pikiran lama soal ‘persatuan dan kesatuan’ atau ‘satu nusa satu bangsa’. Juga
di badan kekuasaan daerah masih banyak bercokol peminat dan
pencinta ‘persatuan dan kesatuan’.
Salah satu yang berubah secara drastis adalah jati diri kekaroan. Kita sangat bangga dengan perubahan yang sangat
penting ini. Pembebasan Karo dari ikatan Batak adalah satu rentetan pembebasan
yang sangat penting. Jati diri Karo tidak mungkin terikat oleh apapun yang lain selain Karo.
Jati diri adalah kesejatian. Artinya, sejati tidak campur aduk dan tidak
dikaburkan oleh apapun yang lain. Itulah namanya sejati, itulah namanya jati diri.
Dengan pendalaman dan peningkatan
arti yang sangat perkasa dalam jati diri ini (jati diri Karo), kita sekarang
terus berjuang dan dalam perjalanan pembebasan yang sempurna secara kultural
maupun politis (kekuasaan Karo) dan juga seterusnya secara ekonomi. Karo telah
lahir kembali sebagai Karo yang sejati.