Diceritakan Kembali Oleh J.H. Neumann
Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera untuk mencari tempat tinggal, berhubungan ia masih merupakan manusia satu-satunya di Sumatera. Kemanapun ia pergi ia selalu membawa surat Kerajaan dengan sembilan materai dan pisau bala bari, pisau kerajaan yang diterimanya dahulu dari abangnya.
Terus menerus ia mencari tempat tinggal, akan tetapi belum ada tempat yang diketemukan yang cocok baginya. Apabila tempat itu kecil, maka tempat itu terlampau kecil untuk dia. Apabila tempat itu besar, maka baginya tempat itu terlampau besar.
Demikianlah ia sampai di Bangko, dan tinggal bertempat sebagai perantau. Disana ia bertemu dengan dua orang dan mengusahakan sawah di Bangko (Hal ini tidak terang karena tidak diberitahukan bahwa ia berpergian bersama empat orang). Sesudah ada segala macam tanaman cukup ditanam, maka bawahan yang lima orang itu bertanya: "Raja bagaimanakah nasib kami? Kampung kita sudah bagus teratur, tetapi belum ada perempuan" Dan Raja berkata dalam hatinya: "Memang benar". Maka ia siapkan kapalnya dan berlayarlah ia ke Makkah. Disitu ada banyak perempuan dan dibelinya sebelas orang. Mereka dibawa ke Bangko dan diberi kepada masing-masing seorang perempuan, sedang sisanya enam orang adalah untuk dia sendiri.
Sesudah dua tahun maka lahirlah dari masing-masing perempuan seorang anak laki-laki. Setelah tiga tahun maka para hamba bertanya kepada Raja Bangko: "Raja, apabila Raja nanti tidak ada disini lagi sedang anak raja banyak, siapakah menjadi Raja kita?" Maka Raja Bangko berpikir: "Memang benar"; karena ibu mereka masing-masing adalah bekas budak belian. Sedang ibu Raja sendiri adalah turunan raja, dan ke-enam perempuan itu bukan.
Maka Raja Bangko menyiapkan kapalnya dan berlayarlah Raja Bangko ke Negara Raja Kuala Ayer Batu. Oleh karena raja tersebut adalah raja besar, maka ia disana menikah dengan seorang putri raja. Setahun kemudian raja kembali ke Bangko dengan membawa seorang putra dengan diantar oleh ayah mertuanya, (Saya tidak tahu mengapa hal ini dianggap sangat penting dan disebut sekali lagi dalam nanyian yang dimuat dibelakang).
Setelah Raja selama setahun ada di Bangko, maka para hambanya menanyakan: "Raja, apabila Raja pada suatu waktu pergi dari sini, siapakah menjadi raja kita?". Maka raja mengumpulkan pembicara-pembicara itu dan semua putranya. (Siapakah yang dimaksud dengan "Pembicara" tidak jelas, mungkin adalah gelar, barangkali anak-beru-senina pada suku Karo). Maka berceritalah ayahnya sebagai berikut: "Kamu sekalian yang terbesar, kamu sekalian adalah raja. Akan tetapi tanda kerajaan, yaitu (surat) dengan sembilan materai dan pisau bala bari, akan ada pada adikmu yang terkecil, Karena ia dari pihak ibunya adalah seorang keturunan raja. Kamu tidak boleh melawan dia, kata ayahnya selanjutnya (Adalah sukar mengatakan apa artinya bala biri. Bala mungkin merupakan awalan lama bahasa Karo, seperti dalam kata-kata balagai, balagege, dsb. Selanjutnya juga "Perajurit, balatentara".. Bari berarti "Dingin, dingin sampai menggigil". Akan tetapi ini adalah "dingin" lain dari dinyatakan dengan malam yang berarti pula "dingin" dan juga "sehat". Tidaklah mustahil, bahwa kata bari dalam logat yang asing bagi saya mempunyai arti yang sama seperti kata malem dan dengan demikian mungkin kata bala biri adalah nama yang bagus untuk pisau, sehingga membawa untung). Pembicara-pembicara itu dijadikan saksi dari pada kata-katanya. "Ayah, apabila baginda berbicara demikian, siapakah yang akan menentang kata-kata ayahanda".
Setahun kemudian maka meninggallah ayahnya. Pembicara-pembicara mengatur pesta makannya dari warisan ayahnya dan mengangkat sebagai raja, putra yang telah diangkat oleh raja yang meninggal, oleh karena ia memiliki tanda-tanda kerajaan dan karena beliau dari pihak ibunya seorang keturunan Raja Kuala Ayer Batu. Ke-enam anak raja menentang. Setahun kemudian ia diangkat lagi sebagai raja, maka menentanglah lagi ke-enam anak raja. Empat kali ia diangkat sebagai raja, tetap ke-enam anak raja menentang terus.
Akhirnya datanglah Keramat dari hutan, tinggi dan gemuk, membawa tongkatnya yang menanamkannya didalam tanah dipekarangan dusun. Ia pergi kerumah dan menanyakan dimana rajanya. Akan tetapi tidak ada raja. Keramat menanyakan apa sebabnya dan kemudian berkata: "Yang mempunyai hak menjadi raja adalah dia yang keturunan raja dari ibunya: Yang ke-enam itu menentang. Maka kerama berkata: "Biarlah air bah itu datang". (Saya terjemahkan selalu "yang enam itu", mungkin akan ternyata kemudian, bahwa yang enam itu mempunyai arti tertentu).
Keramat berangkat, menarik tongkatnya dari tanah dan pergi. Dari lobang bekas tongkat itu keluar air, maka bah itu sungguh datang. Anak laki-laki keturunan raja dari pihak ibunya menyiapkan perahunya, mengirimkannya kekampung menaruh harta bendanya beserta tanda-tanda kerajaan didalam perahu itu dan berlayarlah ia ke tanah Alas dan sampailah ia di Alas.
Disana ia membuka sawah dan berdirilah disitu kampung Ketangkuhen. Ia adalah menusia pertama yang berlayar disungai Alas (?). Kemudian ia kawin dan mendapat dua orang anak. Anak-anak itu akhirnya menjadi besar. Ayahnya meninggal, Raja Bangko yang dari pihak ibunya adalah keturunan Raja Kuala Ayer Batu.
Anak yang sulung tinggal di Alas dan menjadi raja di Ketangkuhen. Ada orang yang dibawa oleh seekor burung layang-layang jatuh di Alas, Raja Ketangkuhen berjumpa dengan dia dibawanya kerumah. Kelakuannya baik dan Raja mengangkatnya sebagai saudara.
Raja Ketangkuhen menikah dan mendapat dua anak laki-laki. Mereka bergilir menjadi raja. (Siapa? Dua anak itu ataukah raja dan orang burung layang-layang?). Pisau kerajaan ada pada Orang Burung Layang-layang. Setelah ayahnya meninggal, maka anak-anak raja minta pisau kerajaan ayahnya. Orang Burung Layang-layang tidak mau memberikannya. Oleh karena ia memiliki pisau kepunyaan raja Bangko, maka ia menjadi pengulu (Orang burung layang-layang tidak mendapat gelar "Raja", tetapi "Pengulu". Raja adalah gelar yang pasti datang dari luar).
Anak-anak raja sangat menderita karenanya. Anak yang sulung berkata: "Tinggalalh disini dan mintalah pisau kita dari pengulu. Saya pergi ke Toba untuk mengunjungi saudara-saudara kita "yang enam itu". Demikian katanya kepada adiknya.
Ia pergi ke Toba mengunjungi saudara-saudaranya "yang enam itu". Dia berjumpa dengan mereka. Mereka telah menjadi raja dari Toba Selaki. Sebab-sebabanya diberi nama Toba Selaki ialah karena alasan sbb: Berhubung dengan adanya kain Toba maka mereka tidak mati (yaitu dalam air bah. Yang punya pustaka menerangkannya sebagai berikut: Ketika terapung diatas air, maka kain Toba tersebut menjadi cembung dan dengan demikian mereka mengambang dengan aman ketempat yang kering). Ia mempunyai anak laki-laki dan untuk dia didirkanlah kampung Paropo (Kedua kampung terletak pada tepi Barat dari Danau Toba). Setelah anaknya besar ia pergi ke Pakpak untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang enam itu. Ia bertemu dengan mereka yang telah menjadi raja-raja Pakpak. Nama Pakpak berasal dari "Kepingan-kepingan batang pohonnya". (Celampong tentunya berarti batang sebuah pohon atau sepotong kayu yang dapat dipakai untuk pegangan agar dapat tetap mengapung. Jadi saudara itu juga dapat tertolong dari air bah, karena mereka berpegangan pada sepotong kayu seperti yang lain dengan kain mereka).
Kampung mereka adalah Martogan. Anak-anak dari "yang enam itu" kawin dan mendirikan kampung Martogan. Dari "yang enam itu" masih hidup empat orang dan dia bertemu dengan mereka. ia kawin lagi. Telah dua kali ia kawin tetapi tidak mendapat anak laki-laki.
Dari anak-anak Raja Ketangkuhen masih tinggal empat orang. Yang sulung dan yang bungsu masih hidup. Akhirnya ayahnya meninggal. Setelah anak-anaknya menjadi besar, maka yang bungsu tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Ia pergi ke dataran rendah (Jahe-jahe dimana letak tanah ini dapat dicari di Alas akan diberitahukan nanti. Disini tentu hanya dimaksudkan bahwa ia pergi ke hilir sungai). Setelah ia berada disitu, ia mendirikan sebuah kampung dekat sungai Biang (Wampu), sebelah kiri bawah, dengan sungai itu sebagai tempat pemandian, ia mendirikan sebuah pengulu balang, aji manering (raja yang menengok kebelakang), tempat pemujaan kita. (Lau mbelin saya terjemahkan dengan "sungai", tetapi disitu ada juga sungai yang namanya (Lau Mbelin). Pengulu balang adalah sebuah patung dari batu yang menjaga kampung itu. Apabila akan datang suatu bahaya, maka berbunyilah patung itu. Dekat kampung Gunung Meriah-jangan keliru dengan Gunung Meriah yang terletak di Serdang-masih ada beberapa patung yang kecil-kecil, sedang tempat persembahan kampung itu namanya Silan Manering). Kampungnya dinamakan Pertibi untuk menyatakan bahwa ia adalah raja. (Sekarang kampung itu sangat sepi). Ia adalah orang pertama yang memasuki daerah sungai Biang. Ia kawin dengan seorang gadis dari suku Ginting. Dua tahun kemudian ia kawin dengan seorang gadis dari suku Jambur Beringin, seorang putri raja Kuta Buluh.
Setahun kemudian penjajah perang yang mencekik. Ia mengambil ke-empat saudaranya dari Martogan dan berkata kepada kakak-kakanya: "O, kakak-kakak jika anda tidak malu, bahwa kampung Pertibi harus ditinggalkan karena musuh". "Jika kamu mengatakan demikian, marilah kita pergi", kata kakak-kakaknya itu, pengulu-pengulu Martogan. Maka tiga dari ke-empat saudara mengikuti dia dan sampailah mereka di Raja Pertibi, kampung dari adiknya yang bungsu. "O, kakak-kakak, apakah yang harus kita buat?" kata adiknya. "Bujang-bujang si pitu (nama suatu jampian). Perintahkan untuk mengambil bengkuang, kumpulkan duri-durinya. Setelah itu masaklah duri-durinya didalam belanga (bilanga kawa, sebuah wajan besi yang ceper), tuangkan racun si bolar untuk membasahi duri-duri itu dengan racun. Perumangannya membuat suatu jampian, agar orang menjadi tidak kelihatan (pengelimun). Perminak sagi menaburkan duri-duri itu sekeliling pertahanan musuh. (Belakangan ternyata bahwa seorang dari saudara-saudara itu ternyata adalah seorang umang dan yang lain adalah serigala penjelmaan manusia. Nama Perminak sagi sungguh menarik perhatian, biasanya orang berbicara tentang harimau sagi). Pada waktu hari mulai terang permusuhan dimulai lagi. Musuh datang dari tempat yang telah diperkuat; sekian banyak yang keluar, sekian banyak pula yang kena; sekian banyak pula yang mati. Sungguhpun musuh sudah kalah, namun perang belum selesai. Selama pengulu-pengulu Martogan masih ada, musuh tidak berani menerjang Pertibi. Musuh tidak berani karena seorang pengulu adalah umang, seorang lagi Perminak sagi dan seorang lagi ahli menembak dengan sumpitan. Pengulu Pertibi tidak berani menyuruh pergi abang-abangnya, pengulu-pengulu dari Martogan.
Setelah dua tahun perang belum berhenti. Pengulu Pertibi mencarikan istri untuk pengulu-pengulu Martogan untuk mengikat mereka. Ia bertanya kepada yang sulung, tetapi ia tidak menghendaki seorang istri manusia, karena ia umang. Ia bertanya kepada perminyak Sagi, tetapi ia berkeberatan. Pengulu Pertibi mengawinkan dia (si ahli menembak dengan sumpit), karena takut bahwa abangnya meninggalkan dia.
Karena ia adalah Perminak sagi, maka ia pergi kesawah, berhubung padi yang sudah tinggi dan dirusak oleh babi hutan. Mejelang malam ia berkata kepada istrinya: "Saya pergi ke sawah untuk mengusir babi hutan, besok pagi kira-kira jam 12 siang saya kembali". (Cerita disini terlampau singkat. Disini dimaksudkan si ahli penembak dengan sumpitan karena istrinya ahirnya dimakan oleh si serigala penjelmaan manusia itu). Ia pergi kesawah dan berubah menjadi macan. (Esok harinya) kira-kira jam satu siang istrinya pergi kesawah untuk mengantarkan makanan. Sampai disawah ia melihat kedalam gubuk, tetapi suaminya tidak disutu. Ia berjalan dipinggir sawah dan bertemu dengan seekor macan. Macan itu menelan dia sampai kenyang. Kemudian ia pergi kekampung dan berubah menjadi manusia lagi. Ia mencari istrinya. Orang-orang berkata: "ia pergi kesawah". Ia mencari kesawah, menyusulnya kepinggir sawah, Istirnya sudah mati.
Ia pergi kekampung. "O, adikku, adalah nasib bahwa saudara-saudara harus berpisah. Saya berkata demikian karena: kakakmu perempuan sudah mati, sayalah yang membunuhnya. Tidak ada gunanya saya tinggal di kampung, karena orang-orang tidak akan percaya pada saya, sungguhpun saya sudah berubah menjadi manusia. Saya (biasanya sebenarnya) tidak jahat terhadap orang-orang. Kalau loreng-loreng harimau itu merapat, maka namanya arimo kembaren, itu binatang pantangan". Demikianlah ia berkata kepada adiknya si Jagat, si ahli menembak dengan sumpitan. Maka adiknya menjawab: "Demikianlah kakak kita berkata: saya juga pergi ke pegunungan, itu adalah nasib". Maka umang berkata: "Kita berempat adalah anak dari satu ibu, satu anak tinggal di Martogan, satu lagi di Pertibi, satu lagi jadi macan, dan satu lagi jadi umang. Memang kita yang dulu meminta (yaitu nasib kita kepada dewa-dewa), sekarang kita harus menerima nasib kita. O, adikku, kamu berdua tinggal di Pertibi, jangan berpisah." Maka habislah pembicaraan.
Umang dan serigala pergi ke hutan, sedang yang dua tinggal di Pertibi. (Banyak suku diantara orang-orang Karo mempunyai binatang pantangannya, mungkin itu tetomnya yang dianggapnya suci. Terutama macan memang bintang pantangan. Disitu ada arimo Tarigan atau arimo Sibero, yaitu macan yang sebagian saja bertutul (rintik-rintik) dan galak. Sebaliknya arimo kembaren yang lorengnya harus berjumpa pada satu titik adalah tidak galak dan tidak ditakuti).
Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi tidak mempunyai anak dan tiap-tiap kali mengadukan suaminya (tentu karena ia ditelantarkan). Pengulu Pertibi juga takut, kalau-kalau si jagat pergi, maka ia berkata kepada adiknya Jagat: "Biarlah begini saja o, kakak, anda harus mengambil istri saya, saya tidak sangup memeliharanya. Kalau saja kembalikan dia kepada keluarganya, tentulah timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, maka kamu harus mengambilnya. Saya mengetahui hutang saya kepada mertua saya". Dan kepada mertuanya dia ia berkata: "Jambur Beringin akan diambil oleh si Jagat. Kami adalah betul-betul kakak beradik" demikianlah Pengulu Pertibi berkata kepada Jagat.
Pengulu Pertibi memperoleh kedudukan (pangkat) raja itu, karena ia telah mendirikan Pertibi. Kalau ada kerbau lewat dari tanah Alas, maka Pengulu Pertibi menerima bea keluar, karena ialah yang paling tua. "Supaya mereka kemudian tidak bertengkar", kata pengulu Pertibi. Atau apabila kemudian banyak kampung-kampungnya, agar mereka kemudian tidak akan bertengkar". (Jalan ke Langkat menuju Bahorok adalah melalui Pertibi).
Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi telah diberikan kepada si Jagat sebagai istrinya, karena ada perang besar, agar ia tidak akan pergi. Demikianlah pengulu Pertibi berpikir. Kita adalah bersaudara hingga pertibi (??). Setelah empat tahun musuh hendak menaklukkan Kuta Buluh. Karena Kuta Buluh memelihara perhubungan dengan Pertibi, maka datanglah perang. Ia hendak mengalahkan Kuta Buluh. "Tidak ada gunanya saya tinggal disini" berkatalah pengulu Kuta Buluh dengan perasaan malu. Ia berkunjung pada iparnya si Jagat di Pertibi.
Ia bertemu dengan iperanya: "O, ipar", kata si Pengulu Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat, "jika anda tidak berbaik hati, maka Kuta Buluh akan hilang". "Jika anda berkata demikian, o ipar, maka biarlah kita pergi", kata iparnya si Jagat. Kemudian si Jagat bersama istrinya Beru Jambur Beringin pergi ke Kuta Buluh bertanya: "Apa yang harus kita berbuat?" Aturkan bujang-bujang si pitu. "Suruh memetik bengkuang (semacam pandan yang dipakai untuk anyaman) kumpulkan duri-durinya, masaklah dalam wajan masukkan racun si bolar untuk meracuni duri-duri itu. Setelah itu taburkanlah sekeliling kampung". Maka duri-durinya ditaburkan sekeliling kampung dan permusuhan dimulai lagi. Sekian banyak musuh yang keluar, sekian banyak yang kena, sekian banyak yang mati. Musuh kalah, tetapi perang belum selesai.
Iparnya si Jagat tidak boleh pulang. Dua tahun kemudian iparnya mendirikan kampung Nggalam untuk dia. Lahirlah seorang anaknya laki-laki. Ia mengundang iparnya, yaitu raja Kuta Buluh untuk datang di Nggalam. Iparnya datang dan menginap dua malam disitu. Raja Kuta Buluh berkata kepada iparnya si Jagat: "Marilah kita tentukan batas-batas negeri kita, agar supaya anak-anak kita dibelakang hari tidak bertengkar karena itu". Maka jawab si Jagat kepada raja Kuta Buluh: "Karena kau menginginkannya, marilah kita tentukan". (Raja Kuta Buluh berketurunan dari Suka Tendel. Disini perlu diberi catatan bahwa hal ini tidak cocok dengan terdahulu. Mula-mula diberitahukan bahwa puteri raja Kuta Buluh adalah Beru Jambur Beringin. Dengan demikian dapat secara wajar diambil kesimpulan bahwa marga ayahnya juga harus Jambur Beringin. Sekarang dikatakan disini, bahwa marga mereka adalah Suka Tendel. Ini juga marga dari Sibayak pada waktu sekarang. Orang mengatakan kepada saya bahwa marga Jambur Beringin telah hilang. Suka Tendel adalah sebuah kampung yang masih didekat Gunung Sinabun).
"Datanglah besok" kata raja Kuta Buluh. Ipar si Jagat datang dan menunggu ditempat yang telah dibuat sebagai tempat pertapaanya. Disitulah ia bertemu raja Kuta Buluh.
"Marilah kita tentukan batas-batas kita" kata raja Kuta Buluh pada si Jagat. Dengan sumpitan si Jagat menunjukkan batas-batanya mulai tempat yang suci itu ke Nggalam terus lurus sampai Lau Buridi ke hilir sampai hilir sungai Biang, akhirnya sampai Damak. "Itulah negeri saya", kata si Jagat kepada raja Kuta Buluh. Ia mengayunkan sumpitannya sebelah kiri kehilir sampai ke lau di Tangkuhen. Kemudian ia letakkan sumpitan itu.
Kemudian iparnya dari Kuta Buluh menunjukkanya mengikuti arah iparnya dan menunjuk kearah sungai Biang ke hilir sampai kelaut. "Sebelah kanan hilir sungai adalah tanah saya sekian jauhnya kearah daratan dimana bunyi senapan saja terdengar, o, ipar", kata raja Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat. Ia menembak dan setelah itu raja Kuta Buluh pulang, si Jagat juga pulang ke negeri Nggalam.
Sesudah satu bulan si Jagat mengirim pesan kepada raja Kuta Buluh: "Berilah nama kepada kemenakanmu!" Dan pamannya memberi nama "Si Bulang Kerajaan" (Kerajaan yang luas). "Mengapa saja memberinya nama "Kerajaan yang luas" adalah karena raja Bangko keturunan raja Pagaruyung. Karena ipar adalah raja dari Alas, Mabar, Tumba (Tamba), raja dari Pakpak, Pertibi sampai kelaut anda adalah raja." Si Jagat adalah ayah dari Belang Kerajaan. "Kalau kerajaan saya begitu luasnya, maka saya berhak menerima bea keluar dari muara sungai itu, jika muara sungai itu milik saya." "Yang demikian itu adalah hak", kata raja Kuta Buluh. "Boleh diadakan eksport jika si Jagat mendiaminya." "Demikian hak itu", kata raja kuta buluh. "Jika ada eksport, dari apa harus ada penerimaan?" Kuda, kerbau, budak belian, yang melewati daerah kita. "de adi, kurajat gularna (?)", kata pengulu Kuta Buluh. Tempat membayar cukai adalah Pertibi, karena daerah ini kepunyaan anak yang sulung. Dari semua kuda, kerbau dan budak belian yang lewat ayah si Belang Kerajaan menerima (hak bea keluar). (Tidak dapat dikatakan bahwa bagian yang dikutip ini tegas. Apakah kuala dimaksudkan muara suangi kedalam laut? Ataukah muara dari suatu sungai kedalam sungai lain? Berhubung dengan adanya cerita-cerita yang disampaikan dengan lisan bahwa Marga Perangin-angin telah meluaskan kekuasaanya sampai Binjai, maka saya teringat kepada penentuan batas-batas "sampai ke laut". Tetapi kemudian disebut Pertibi sebagai tempat pembayaran bea keluar).
Ia (Siapa? Si Jagat atau si Belang Kerajaan) mendapat enam orang anak. Seorang pergi ke Sungkun Berita, seorang ke Lau Mbentar, seorang ke Sampe Raya, sedang ketiga lainnya pergi juga; seorang ke Ujung Deleng, seorang ke Batu (Batu?) Mamak, seorang ke Kuruas, tempat yang tinggi letaknya di Lau Ntebah. Ia membuat sawah mendirikan sebuah gubug (sapo) dengan atapnya dari rumput (padang) yang akhirnya menjadi kampung, dengan diberi nama Sapo Padang.
Selama satu generasi lahirlah tiga anak laki-laki. Yang bungsu pergi ke Kelange, yang kedua ke Kuta Cih sedang yang sulung tinggal di Sapo Padang. Dalam waktu satu atau dua generasi lahirlah enam orang anak. Seorang pergi kegunung Silukutan, seorang ke Tuladeh, seorang ke Batu Katak, sedang tiga orang tinggal di Sapo Padang. Yang sulung, yang tengah dan yang bungsu. Yang sulung mempunyai seorang anak laki-laki, sedangkan yang bungsu dua anak laki-laki.
Anak yang sulung meninggal, tetapi ia tidak meninggalkan anak. Dari yang dua yang tertua meninggalkan anak laki-laki dua orang. Yang tua meninggal, dan sekarang tinggallah yang bungsu. Ia kawin dengan istri abangnya yang sulung tidak mempunyai anak.
Kemudian lahirlah seorang anak laki-laki. Ia kawin dengan istri abangnya dan mendapat seorang anak laki-laki lagi, yaitu anak dari istrinya sendiri.
Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera untuk mencari tempat tinggal, berhubungan ia masih merupakan manusia satu-satunya di Sumatera. Kemanapun ia pergi ia selalu membawa surat Kerajaan dengan sembilan materai dan pisau bala bari, pisau kerajaan yang diterimanya dahulu dari abangnya.
Terus menerus ia mencari tempat tinggal, akan tetapi belum ada tempat yang diketemukan yang cocok baginya. Apabila tempat itu kecil, maka tempat itu terlampau kecil untuk dia. Apabila tempat itu besar, maka baginya tempat itu terlampau besar.
Demikianlah ia sampai di Bangko, dan tinggal bertempat sebagai perantau. Disana ia bertemu dengan dua orang dan mengusahakan sawah di Bangko (Hal ini tidak terang karena tidak diberitahukan bahwa ia berpergian bersama empat orang). Sesudah ada segala macam tanaman cukup ditanam, maka bawahan yang lima orang itu bertanya: "Raja bagaimanakah nasib kami? Kampung kita sudah bagus teratur, tetapi belum ada perempuan" Dan Raja berkata dalam hatinya: "Memang benar". Maka ia siapkan kapalnya dan berlayarlah ia ke Makkah. Disitu ada banyak perempuan dan dibelinya sebelas orang. Mereka dibawa ke Bangko dan diberi kepada masing-masing seorang perempuan, sedang sisanya enam orang adalah untuk dia sendiri.
Sesudah dua tahun maka lahirlah dari masing-masing perempuan seorang anak laki-laki. Setelah tiga tahun maka para hamba bertanya kepada Raja Bangko: "Raja, apabila Raja nanti tidak ada disini lagi sedang anak raja banyak, siapakah menjadi Raja kita?" Maka Raja Bangko berpikir: "Memang benar"; karena ibu mereka masing-masing adalah bekas budak belian. Sedang ibu Raja sendiri adalah turunan raja, dan ke-enam perempuan itu bukan.
Maka Raja Bangko menyiapkan kapalnya dan berlayarlah Raja Bangko ke Negara Raja Kuala Ayer Batu. Oleh karena raja tersebut adalah raja besar, maka ia disana menikah dengan seorang putri raja. Setahun kemudian raja kembali ke Bangko dengan membawa seorang putra dengan diantar oleh ayah mertuanya, (Saya tidak tahu mengapa hal ini dianggap sangat penting dan disebut sekali lagi dalam nanyian yang dimuat dibelakang).
Setelah Raja selama setahun ada di Bangko, maka para hambanya menanyakan: "Raja, apabila Raja pada suatu waktu pergi dari sini, siapakah menjadi raja kita?". Maka raja mengumpulkan pembicara-pembicara itu dan semua putranya. (Siapakah yang dimaksud dengan "Pembicara" tidak jelas, mungkin adalah gelar, barangkali anak-beru-senina pada suku Karo). Maka berceritalah ayahnya sebagai berikut: "Kamu sekalian yang terbesar, kamu sekalian adalah raja. Akan tetapi tanda kerajaan, yaitu (surat) dengan sembilan materai dan pisau bala bari, akan ada pada adikmu yang terkecil, Karena ia dari pihak ibunya adalah seorang keturunan raja. Kamu tidak boleh melawan dia, kata ayahnya selanjutnya (Adalah sukar mengatakan apa artinya bala biri. Bala mungkin merupakan awalan lama bahasa Karo, seperti dalam kata-kata balagai, balagege, dsb. Selanjutnya juga "Perajurit, balatentara".. Bari berarti "Dingin, dingin sampai menggigil". Akan tetapi ini adalah "dingin" lain dari dinyatakan dengan malam yang berarti pula "dingin" dan juga "sehat". Tidaklah mustahil, bahwa kata bari dalam logat yang asing bagi saya mempunyai arti yang sama seperti kata malem dan dengan demikian mungkin kata bala biri adalah nama yang bagus untuk pisau, sehingga membawa untung). Pembicara-pembicara itu dijadikan saksi dari pada kata-katanya. "Ayah, apabila baginda berbicara demikian, siapakah yang akan menentang kata-kata ayahanda".
Setahun kemudian maka meninggallah ayahnya. Pembicara-pembicara mengatur pesta makannya dari warisan ayahnya dan mengangkat sebagai raja, putra yang telah diangkat oleh raja yang meninggal, oleh karena ia memiliki tanda-tanda kerajaan dan karena beliau dari pihak ibunya seorang keturunan Raja Kuala Ayer Batu. Ke-enam anak raja menentang. Setahun kemudian ia diangkat lagi sebagai raja, maka menentanglah lagi ke-enam anak raja. Empat kali ia diangkat sebagai raja, tetap ke-enam anak raja menentang terus.
Akhirnya datanglah Keramat dari hutan, tinggi dan gemuk, membawa tongkatnya yang menanamkannya didalam tanah dipekarangan dusun. Ia pergi kerumah dan menanyakan dimana rajanya. Akan tetapi tidak ada raja. Keramat menanyakan apa sebabnya dan kemudian berkata: "Yang mempunyai hak menjadi raja adalah dia yang keturunan raja dari ibunya: Yang ke-enam itu menentang. Maka kerama berkata: "Biarlah air bah itu datang". (Saya terjemahkan selalu "yang enam itu", mungkin akan ternyata kemudian, bahwa yang enam itu mempunyai arti tertentu).
Keramat berangkat, menarik tongkatnya dari tanah dan pergi. Dari lobang bekas tongkat itu keluar air, maka bah itu sungguh datang. Anak laki-laki keturunan raja dari pihak ibunya menyiapkan perahunya, mengirimkannya kekampung menaruh harta bendanya beserta tanda-tanda kerajaan didalam perahu itu dan berlayarlah ia ke tanah Alas dan sampailah ia di Alas.
Disana ia membuka sawah dan berdirilah disitu kampung Ketangkuhen. Ia adalah menusia pertama yang berlayar disungai Alas (?). Kemudian ia kawin dan mendapat dua orang anak. Anak-anak itu akhirnya menjadi besar. Ayahnya meninggal, Raja Bangko yang dari pihak ibunya adalah keturunan Raja Kuala Ayer Batu.
Anak yang sulung tinggal di Alas dan menjadi raja di Ketangkuhen. Ada orang yang dibawa oleh seekor burung layang-layang jatuh di Alas, Raja Ketangkuhen berjumpa dengan dia dibawanya kerumah. Kelakuannya baik dan Raja mengangkatnya sebagai saudara.
Raja Ketangkuhen menikah dan mendapat dua anak laki-laki. Mereka bergilir menjadi raja. (Siapa? Dua anak itu ataukah raja dan orang burung layang-layang?). Pisau kerajaan ada pada Orang Burung Layang-layang. Setelah ayahnya meninggal, maka anak-anak raja minta pisau kerajaan ayahnya. Orang Burung Layang-layang tidak mau memberikannya. Oleh karena ia memiliki pisau kepunyaan raja Bangko, maka ia menjadi pengulu (Orang burung layang-layang tidak mendapat gelar "Raja", tetapi "Pengulu". Raja adalah gelar yang pasti datang dari luar).
Anak-anak raja sangat menderita karenanya. Anak yang sulung berkata: "Tinggalalh disini dan mintalah pisau kita dari pengulu. Saya pergi ke Toba untuk mengunjungi saudara-saudara kita "yang enam itu". Demikian katanya kepada adiknya.
Ia pergi ke Toba mengunjungi saudara-saudaranya "yang enam itu". Dia berjumpa dengan mereka. Mereka telah menjadi raja dari Toba Selaki. Sebab-sebabanya diberi nama Toba Selaki ialah karena alasan sbb: Berhubung dengan adanya kain Toba maka mereka tidak mati (yaitu dalam air bah. Yang punya pustaka menerangkannya sebagai berikut: Ketika terapung diatas air, maka kain Toba tersebut menjadi cembung dan dengan demikian mereka mengambang dengan aman ketempat yang kering). Ia mempunyai anak laki-laki dan untuk dia didirkanlah kampung Paropo (Kedua kampung terletak pada tepi Barat dari Danau Toba). Setelah anaknya besar ia pergi ke Pakpak untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang enam itu. Ia bertemu dengan mereka yang telah menjadi raja-raja Pakpak. Nama Pakpak berasal dari "Kepingan-kepingan batang pohonnya". (Celampong tentunya berarti batang sebuah pohon atau sepotong kayu yang dapat dipakai untuk pegangan agar dapat tetap mengapung. Jadi saudara itu juga dapat tertolong dari air bah, karena mereka berpegangan pada sepotong kayu seperti yang lain dengan kain mereka).
Kampung mereka adalah Martogan. Anak-anak dari "yang enam itu" kawin dan mendirikan kampung Martogan. Dari "yang enam itu" masih hidup empat orang dan dia bertemu dengan mereka. ia kawin lagi. Telah dua kali ia kawin tetapi tidak mendapat anak laki-laki.
Dari anak-anak Raja Ketangkuhen masih tinggal empat orang. Yang sulung dan yang bungsu masih hidup. Akhirnya ayahnya meninggal. Setelah anak-anaknya menjadi besar, maka yang bungsu tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Ia pergi ke dataran rendah (Jahe-jahe dimana letak tanah ini dapat dicari di Alas akan diberitahukan nanti. Disini tentu hanya dimaksudkan bahwa ia pergi ke hilir sungai). Setelah ia berada disitu, ia mendirikan sebuah kampung dekat sungai Biang (Wampu), sebelah kiri bawah, dengan sungai itu sebagai tempat pemandian, ia mendirikan sebuah pengulu balang, aji manering (raja yang menengok kebelakang), tempat pemujaan kita. (Lau mbelin saya terjemahkan dengan "sungai", tetapi disitu ada juga sungai yang namanya (Lau Mbelin). Pengulu balang adalah sebuah patung dari batu yang menjaga kampung itu. Apabila akan datang suatu bahaya, maka berbunyilah patung itu. Dekat kampung Gunung Meriah-jangan keliru dengan Gunung Meriah yang terletak di Serdang-masih ada beberapa patung yang kecil-kecil, sedang tempat persembahan kampung itu namanya Silan Manering). Kampungnya dinamakan Pertibi untuk menyatakan bahwa ia adalah raja. (Sekarang kampung itu sangat sepi). Ia adalah orang pertama yang memasuki daerah sungai Biang. Ia kawin dengan seorang gadis dari suku Ginting. Dua tahun kemudian ia kawin dengan seorang gadis dari suku Jambur Beringin, seorang putri raja Kuta Buluh.
Setahun kemudian penjajah perang yang mencekik. Ia mengambil ke-empat saudaranya dari Martogan dan berkata kepada kakak-kakanya: "O, kakak-kakak jika anda tidak malu, bahwa kampung Pertibi harus ditinggalkan karena musuh". "Jika kamu mengatakan demikian, marilah kita pergi", kata kakak-kakaknya itu, pengulu-pengulu Martogan. Maka tiga dari ke-empat saudara mengikuti dia dan sampailah mereka di Raja Pertibi, kampung dari adiknya yang bungsu. "O, kakak-kakak, apakah yang harus kita buat?" kata adiknya. "Bujang-bujang si pitu (nama suatu jampian). Perintahkan untuk mengambil bengkuang, kumpulkan duri-durinya. Setelah itu masaklah duri-durinya didalam belanga (bilanga kawa, sebuah wajan besi yang ceper), tuangkan racun si bolar untuk membasahi duri-duri itu dengan racun. Perumangannya membuat suatu jampian, agar orang menjadi tidak kelihatan (pengelimun). Perminak sagi menaburkan duri-duri itu sekeliling pertahanan musuh. (Belakangan ternyata bahwa seorang dari saudara-saudara itu ternyata adalah seorang umang dan yang lain adalah serigala penjelmaan manusia. Nama Perminak sagi sungguh menarik perhatian, biasanya orang berbicara tentang harimau sagi). Pada waktu hari mulai terang permusuhan dimulai lagi. Musuh datang dari tempat yang telah diperkuat; sekian banyak yang keluar, sekian banyak pula yang kena; sekian banyak pula yang mati. Sungguhpun musuh sudah kalah, namun perang belum selesai. Selama pengulu-pengulu Martogan masih ada, musuh tidak berani menerjang Pertibi. Musuh tidak berani karena seorang pengulu adalah umang, seorang lagi Perminak sagi dan seorang lagi ahli menembak dengan sumpitan. Pengulu Pertibi tidak berani menyuruh pergi abang-abangnya, pengulu-pengulu dari Martogan.
Setelah dua tahun perang belum berhenti. Pengulu Pertibi mencarikan istri untuk pengulu-pengulu Martogan untuk mengikat mereka. Ia bertanya kepada yang sulung, tetapi ia tidak menghendaki seorang istri manusia, karena ia umang. Ia bertanya kepada perminyak Sagi, tetapi ia berkeberatan. Pengulu Pertibi mengawinkan dia (si ahli menembak dengan sumpit), karena takut bahwa abangnya meninggalkan dia.
Karena ia adalah Perminak sagi, maka ia pergi kesawah, berhubung padi yang sudah tinggi dan dirusak oleh babi hutan. Mejelang malam ia berkata kepada istrinya: "Saya pergi ke sawah untuk mengusir babi hutan, besok pagi kira-kira jam 12 siang saya kembali". (Cerita disini terlampau singkat. Disini dimaksudkan si ahli penembak dengan sumpitan karena istrinya ahirnya dimakan oleh si serigala penjelmaan manusia itu). Ia pergi kesawah dan berubah menjadi macan. (Esok harinya) kira-kira jam satu siang istrinya pergi kesawah untuk mengantarkan makanan. Sampai disawah ia melihat kedalam gubuk, tetapi suaminya tidak disutu. Ia berjalan dipinggir sawah dan bertemu dengan seekor macan. Macan itu menelan dia sampai kenyang. Kemudian ia pergi kekampung dan berubah menjadi manusia lagi. Ia mencari istrinya. Orang-orang berkata: "ia pergi kesawah". Ia mencari kesawah, menyusulnya kepinggir sawah, Istirnya sudah mati.
Ia pergi kekampung. "O, adikku, adalah nasib bahwa saudara-saudara harus berpisah. Saya berkata demikian karena: kakakmu perempuan sudah mati, sayalah yang membunuhnya. Tidak ada gunanya saya tinggal di kampung, karena orang-orang tidak akan percaya pada saya, sungguhpun saya sudah berubah menjadi manusia. Saya (biasanya sebenarnya) tidak jahat terhadap orang-orang. Kalau loreng-loreng harimau itu merapat, maka namanya arimo kembaren, itu binatang pantangan". Demikianlah ia berkata kepada adiknya si Jagat, si ahli menembak dengan sumpitan. Maka adiknya menjawab: "Demikianlah kakak kita berkata: saya juga pergi ke pegunungan, itu adalah nasib". Maka umang berkata: "Kita berempat adalah anak dari satu ibu, satu anak tinggal di Martogan, satu lagi di Pertibi, satu lagi jadi macan, dan satu lagi jadi umang. Memang kita yang dulu meminta (yaitu nasib kita kepada dewa-dewa), sekarang kita harus menerima nasib kita. O, adikku, kamu berdua tinggal di Pertibi, jangan berpisah." Maka habislah pembicaraan.
Umang dan serigala pergi ke hutan, sedang yang dua tinggal di Pertibi. (Banyak suku diantara orang-orang Karo mempunyai binatang pantangannya, mungkin itu tetomnya yang dianggapnya suci. Terutama macan memang bintang pantangan. Disitu ada arimo Tarigan atau arimo Sibero, yaitu macan yang sebagian saja bertutul (rintik-rintik) dan galak. Sebaliknya arimo kembaren yang lorengnya harus berjumpa pada satu titik adalah tidak galak dan tidak ditakuti).
Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi tidak mempunyai anak dan tiap-tiap kali mengadukan suaminya (tentu karena ia ditelantarkan). Pengulu Pertibi juga takut, kalau-kalau si jagat pergi, maka ia berkata kepada adiknya Jagat: "Biarlah begini saja o, kakak, anda harus mengambil istri saya, saya tidak sangup memeliharanya. Kalau saja kembalikan dia kepada keluarganya, tentulah timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, maka kamu harus mengambilnya. Saya mengetahui hutang saya kepada mertua saya". Dan kepada mertuanya dia ia berkata: "Jambur Beringin akan diambil oleh si Jagat. Kami adalah betul-betul kakak beradik" demikianlah Pengulu Pertibi berkata kepada Jagat.
Pengulu Pertibi memperoleh kedudukan (pangkat) raja itu, karena ia telah mendirikan Pertibi. Kalau ada kerbau lewat dari tanah Alas, maka Pengulu Pertibi menerima bea keluar, karena ialah yang paling tua. "Supaya mereka kemudian tidak bertengkar", kata pengulu Pertibi. Atau apabila kemudian banyak kampung-kampungnya, agar mereka kemudian tidak akan bertengkar". (Jalan ke Langkat menuju Bahorok adalah melalui Pertibi).
Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi telah diberikan kepada si Jagat sebagai istrinya, karena ada perang besar, agar ia tidak akan pergi. Demikianlah pengulu Pertibi berpikir. Kita adalah bersaudara hingga pertibi (??). Setelah empat tahun musuh hendak menaklukkan Kuta Buluh. Karena Kuta Buluh memelihara perhubungan dengan Pertibi, maka datanglah perang. Ia hendak mengalahkan Kuta Buluh. "Tidak ada gunanya saya tinggal disini" berkatalah pengulu Kuta Buluh dengan perasaan malu. Ia berkunjung pada iparnya si Jagat di Pertibi.
Ia bertemu dengan iperanya: "O, ipar", kata si Pengulu Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat, "jika anda tidak berbaik hati, maka Kuta Buluh akan hilang". "Jika anda berkata demikian, o ipar, maka biarlah kita pergi", kata iparnya si Jagat. Kemudian si Jagat bersama istrinya Beru Jambur Beringin pergi ke Kuta Buluh bertanya: "Apa yang harus kita berbuat?" Aturkan bujang-bujang si pitu. "Suruh memetik bengkuang (semacam pandan yang dipakai untuk anyaman) kumpulkan duri-durinya, masaklah dalam wajan masukkan racun si bolar untuk meracuni duri-duri itu. Setelah itu taburkanlah sekeliling kampung". Maka duri-durinya ditaburkan sekeliling kampung dan permusuhan dimulai lagi. Sekian banyak musuh yang keluar, sekian banyak yang kena, sekian banyak yang mati. Musuh kalah, tetapi perang belum selesai.
Iparnya si Jagat tidak boleh pulang. Dua tahun kemudian iparnya mendirikan kampung Nggalam untuk dia. Lahirlah seorang anaknya laki-laki. Ia mengundang iparnya, yaitu raja Kuta Buluh untuk datang di Nggalam. Iparnya datang dan menginap dua malam disitu. Raja Kuta Buluh berkata kepada iparnya si Jagat: "Marilah kita tentukan batas-batas negeri kita, agar supaya anak-anak kita dibelakang hari tidak bertengkar karena itu". Maka jawab si Jagat kepada raja Kuta Buluh: "Karena kau menginginkannya, marilah kita tentukan". (Raja Kuta Buluh berketurunan dari Suka Tendel. Disini perlu diberi catatan bahwa hal ini tidak cocok dengan terdahulu. Mula-mula diberitahukan bahwa puteri raja Kuta Buluh adalah Beru Jambur Beringin. Dengan demikian dapat secara wajar diambil kesimpulan bahwa marga ayahnya juga harus Jambur Beringin. Sekarang dikatakan disini, bahwa marga mereka adalah Suka Tendel. Ini juga marga dari Sibayak pada waktu sekarang. Orang mengatakan kepada saya bahwa marga Jambur Beringin telah hilang. Suka Tendel adalah sebuah kampung yang masih didekat Gunung Sinabun).
"Datanglah besok" kata raja Kuta Buluh. Ipar si Jagat datang dan menunggu ditempat yang telah dibuat sebagai tempat pertapaanya. Disitulah ia bertemu raja Kuta Buluh.
"Marilah kita tentukan batas-batas kita" kata raja Kuta Buluh pada si Jagat. Dengan sumpitan si Jagat menunjukkan batas-batanya mulai tempat yang suci itu ke Nggalam terus lurus sampai Lau Buridi ke hilir sampai hilir sungai Biang, akhirnya sampai Damak. "Itulah negeri saya", kata si Jagat kepada raja Kuta Buluh. Ia mengayunkan sumpitannya sebelah kiri kehilir sampai ke lau di Tangkuhen. Kemudian ia letakkan sumpitan itu.
Kemudian iparnya dari Kuta Buluh menunjukkanya mengikuti arah iparnya dan menunjuk kearah sungai Biang ke hilir sampai kelaut. "Sebelah kanan hilir sungai adalah tanah saya sekian jauhnya kearah daratan dimana bunyi senapan saja terdengar, o, ipar", kata raja Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat. Ia menembak dan setelah itu raja Kuta Buluh pulang, si Jagat juga pulang ke negeri Nggalam.
Sesudah satu bulan si Jagat mengirim pesan kepada raja Kuta Buluh: "Berilah nama kepada kemenakanmu!" Dan pamannya memberi nama "Si Bulang Kerajaan" (Kerajaan yang luas). "Mengapa saja memberinya nama "Kerajaan yang luas" adalah karena raja Bangko keturunan raja Pagaruyung. Karena ipar adalah raja dari Alas, Mabar, Tumba (Tamba), raja dari Pakpak, Pertibi sampai kelaut anda adalah raja." Si Jagat adalah ayah dari Belang Kerajaan. "Kalau kerajaan saya begitu luasnya, maka saya berhak menerima bea keluar dari muara sungai itu, jika muara sungai itu milik saya." "Yang demikian itu adalah hak", kata raja Kuta Buluh. "Boleh diadakan eksport jika si Jagat mendiaminya." "Demikian hak itu", kata raja kuta buluh. "Jika ada eksport, dari apa harus ada penerimaan?" Kuda, kerbau, budak belian, yang melewati daerah kita. "de adi, kurajat gularna (?)", kata pengulu Kuta Buluh. Tempat membayar cukai adalah Pertibi, karena daerah ini kepunyaan anak yang sulung. Dari semua kuda, kerbau dan budak belian yang lewat ayah si Belang Kerajaan menerima (hak bea keluar). (Tidak dapat dikatakan bahwa bagian yang dikutip ini tegas. Apakah kuala dimaksudkan muara suangi kedalam laut? Ataukah muara dari suatu sungai kedalam sungai lain? Berhubung dengan adanya cerita-cerita yang disampaikan dengan lisan bahwa Marga Perangin-angin telah meluaskan kekuasaanya sampai Binjai, maka saya teringat kepada penentuan batas-batas "sampai ke laut". Tetapi kemudian disebut Pertibi sebagai tempat pembayaran bea keluar).
Ia (Siapa? Si Jagat atau si Belang Kerajaan) mendapat enam orang anak. Seorang pergi ke Sungkun Berita, seorang ke Lau Mbentar, seorang ke Sampe Raya, sedang ketiga lainnya pergi juga; seorang ke Ujung Deleng, seorang ke Batu (Batu?) Mamak, seorang ke Kuruas, tempat yang tinggi letaknya di Lau Ntebah. Ia membuat sawah mendirikan sebuah gubug (sapo) dengan atapnya dari rumput (padang) yang akhirnya menjadi kampung, dengan diberi nama Sapo Padang.
Selama satu generasi lahirlah tiga anak laki-laki. Yang bungsu pergi ke Kelange, yang kedua ke Kuta Cih sedang yang sulung tinggal di Sapo Padang. Dalam waktu satu atau dua generasi lahirlah enam orang anak. Seorang pergi kegunung Silukutan, seorang ke Tuladeh, seorang ke Batu Katak, sedang tiga orang tinggal di Sapo Padang. Yang sulung, yang tengah dan yang bungsu. Yang sulung mempunyai seorang anak laki-laki, sedangkan yang bungsu dua anak laki-laki.
Anak yang sulung meninggal, tetapi ia tidak meninggalkan anak. Dari yang dua yang tertua meninggalkan anak laki-laki dua orang. Yang tua meninggal, dan sekarang tinggallah yang bungsu. Ia kawin dengan istri abangnya yang sulung tidak mempunyai anak.
Kemudian lahirlah seorang anak laki-laki. Ia kawin dengan istri abangnya dan mendapat seorang anak laki-laki lagi, yaitu anak dari istrinya sendiri.
Oh ya kah..ada konfirmasi dari pagaruyung sendiri?
BalasHapus