Selasa, 15 Juli 2014

Upaya Melindungi Adat Karo Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Upaya untuk melindungi adat Karo agar tidak tergerus budaya-budaya lain ternyata sudah berkembang sebelum era kemerdekaan Indonesia, bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang-orang Karo yang berasal dari pedalaman Deli (Karo Jahe?). Upaya melindungi adat Karo tersebut tercatat pada buku "Kolonialisme dan Etnisitas - Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut" yang ditulis oleh Daniel Perret sebagai berikut:

Jamburtaras Berastagi Tempo Dulu (karokab.blogspot.com)
Bulan Maret 1934, perkumpulan Setia Karo, memutuskan membuat media dengan tujuan membantu anggotanya dari berbagai masalah yang berkaitan dengan adat. Pendirian Sjarikat Tani Indonesia (SETIA) pada Juni 1938 juga didorong untuk melindungi adat Karo, yang lahir dari sekumpulan petani dari pedalaman Deli dengan dukungan penuh sebuah partai nasionalis Gerakan Rakyat Indonesia. Perkumpulan SETIA terus berkembang dan menjadi komunitas tertutup di tahun 1942, saat kedatangan Jepang yang mempunyai anggota sekitar 2.000 orang yang berasal dari 300 kuta (hal 359 - 361).

Dengan informasi yang kita dapatkan diatas, maka apakah kita masih tetap mengaggap bahwa orang Karo asli itu hanya terdapat di Kabupaten Karo saat ini yang sering juga disebut Karo Gugung atau karo dataran tinggi?

Terkait topik diatas yang diposting oleh Brandy Karo Sekali di grup Facebook JAMBURTA MERGA SILIMA (JMS), Juara Ginting sebagai ahli antropolog sekaligus admin grup JMS menambahkan berbagai keterangan menarik seputar upaya-upaya orang Karo melindungi adat dan budayanya mulai dari masa sebelum kemerdekaan Indonesia, hingga masa kemerdekaan. Berikut adalah berbagai keterangan yang disampaikannya:

Juara R Ginting
Salah seorang kolumnis favoritku di koran yang diterbitkan oleh SETIA ARON itu (di Pancurbatu) punya nama samaran TERANIAJA (baca: Teraniaya). Di koran ini jugalah terjadi perdebatan sengit antara sekelompok orang yang mengusulkan sebutan baru untuk suku Karo, yaitu MERGA SILIMA. Usulan ini ditentang habis-habisan oleh sekelompok Karo lainnya. (tahun 1930an).

Juara R Ginting
Istilah MERGA SILIMA muncul kembali di literatur pada tahun 1952 di dalam buku P. Tamboen. Pada tahun 1967, didirikan di Berastagi sebuah organisasi yang bernama BALAI PUSTAKA ADAT MERGA SILIMA yang diresmikan oleh Bupati Karo saat itu Bahararudin Siregar pada saat bersamaan dengan peresemian Jamburtaras Berastagi.

Juara R Ginting
Pembentukan organisasi BPAMS itu sangat terkait erat dengan kampanye besar-besaran yang dilancarkan oleh Dewan Gereja-geraja Indonesia (DGI) (1966) yang menganjurkan orang-orang Karo masuk Kristen (GBKP) untuk terhindar dari tuduhan atheist Cq. komunis. Kampanye dalam bentuk karnaval/ pawai diadakan di Kuala (Langkat), Kabanjahe dan Tigabinanga. Orang-orang BPAMS tidak mau masuk agama manapun tapi tidak juga mau disebut atheist. Saya masih sempat melihat KTP mereka mengisi kolom agama mereka dengan Merga Silima.

Juara R Ginting
BPAMS bubar usai Pemilu 1971 dimana GOLKAR menjadi pemenang. Mereka jadi terpecah belah karena ketuanya Pa Raja Bale Ginting (tokoh Murba yang sedang dibekukan saat itu) mengikuti jejak Ketua Murba H. Adam Malik masuk GOLKAR. Pa Raja Bale masuk Islam dan GOLKAR. Pada tahun 1972, Brahma Putro (K.S. Brahmana) membawa pemilik yayasan Khalsa Medan (seorang Shik) bersama Lamlo (tokoh Parisada Hindu Dharma Sumut) untuk bertemu dengan sisa-sisa pengurus BPAMS. Di dalam pertemuan mereka di Restauran Asia Berastagi disepakati untuk mentransformasikan Pemena menjadi Hindu. Pada tahun 1985, diresmikan PHDK (Parisada Hindu Dharma Karo) bersamaan dengan peresmian pure bergaya Bekasih di Desa Tanjung. Tercatat 5.000 anggota PHDK dan 5.000 simpatisan sehingga Karo dikenal sebagai penganut Hindu terbesar di Indonesia setelah Bali.

Juara R Ginting
Terbentuknya BPAMS (1967) bisa dikatakan sebuah revolusi kecil di Karo. Orang-orang Karo kembali bangga akan kekaroannya. Banyak orang yang sudah masuk Kristen meninggalkan gereja dan kembali aktif berpatisipasi dalam ritual-ritual Karo. Gereja-gereja mulai kosong. Salah satu alasan utama yang sangat umum adalah karena dilarangnya ertudung ku gereja oleh GBKP. Melihat adanya revolusi kecil ini, muncullah kelompok baru di GBKP yang MENENTANG AROGANSI GBKP. Pemimpin dari kelompok ini adalah Alm. Pdt. Anggapen Ginting Suka. Dia terpilih menjadi Ketua Moderamen GBKP di Sidang Sinode Kabanjahe (1968 atau 1969?), Di tahun 1969, GBKP melancarkan upaya konsolidasi dengan tradisi Karo melalui pembedaan KINITEKEN dengan ADAT. GBKP saat itu mendefenisikan Adat sebagai aspek sekuler dari tradisi Karo. Sejak itu, orang-orang Karo mulai lagi bersimpati kepada GBKP. Nah, di sini, banyaknya orang Karo masuk GBKP bukan karena intimidasi seperti kampanye DGI sebelumnya tapi berdasarkan pertimbangan sendiri.

Juara R Ginting
Artikel saya mengenai Hindu Karo (dalam bahasa Inggris) saya tutup dengan sebuah peringatan sehubungan dengan menurunnya simpati para anggota terhadap agama Hindu. Belakangan, orang-orang Bali (kebanyakan bekerja di Angkatan Udara dan Kantor Imigrasi di Medan) mulai mendominasi Hindu Karo dan memaksakan aturan-aturan Bali ke anggota. Sada per sada anggota lompat berteng. Saya ingatkan di artikel itu, kalau PHDI hendak menghidupkan kembali Hindu di Karo, contohlah GBKP yang mengadakan konsolidasi dengan tradisi Karo dan meruntuhkan KECONGKAKANNYA.

Juara R Ginting
Kalimat yang sama berlaku untuk GBKP sekarang yang terlihat gejala mulai lagi mengulangi posisinya di masa pendudukan Belanda kembali di Indonesia dan akibat pasca 1965. KECONGKAKAN segala yang berasal dari luar akan membuat orang Karo meninggalkannya. Itulah teori yang saya bangun dari penelitian sejarah Karo sejak Perang Sunggal hingga masa kini.

Juara R Ginting
Awalnya PHDI mengakui ritual-ritual Karo itu adalah sepenuhnya Hindu. Dengan pengakuan begitu, orang-orang Karo merasa dapat legitimasi menjalankan tradisinya tanpa harus disebut atheist. Mereka masuk Hindu agar mereka bisa menruskan tradisinya seperti halnya banyak dukun patah masuk Islam karena gereja pada saat itu menentang segala bentuk perdukunan. Hindu atau Islam saat itu adalah hanya untuk legitimasi bahwa apa yang dimiliki tidaklah sesuatu yang tercela apalagi dianggap sebagai pemberointakan terhadap negara.

Sumber: https://www.facebook.com/groups/jamburtamergasilima/475466575889871

Link Terkait: http://tinyurl.com/lzr76vs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar