Oleh: Masri Singarimbun
Departemen Sosial memberikan definisi masyarakat terasing sebagai berikut. Sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ciri-ciri fisik, sosial, dan budaya, mendiami suatu kawasan yang terpencil, terpencar, serta sulit dijangkau atau berpindah-pindah, ataupun yang hidup mengembara di kawasan laut. Mereka sulit mewujudkan interaksi sosial dengan masyarakat yang lebih maju. Sedikitnya pelayanan pembangunan yang menjangkau mereka menyebabkan taraf kesejahteraan sosialnya sangat sederhana dan terbelakang. Mereka belum dapat berintegrasi dalam proses pembangunan nasional.
Lalu dibuat tiga kategori keterasingan: kelompok yang disebut kelana, menetap sementara, dan hidup menetap. Sampai akhir Pelita V, anggota masyarakat terasing diperkirakan berjumlah 236.282 kepala keluarga (KK) atau 1.033.197 jiwa, terdiri dari 370 suku atau subsuku, tersebar di 20 provinsi dan 94 kabupaten.
Ketika beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi para peneliti masyarakat terasing (suku Polahi) di Kabupaten Gorontalo, di bawah pimpinan Prof. John Goni dari Universitas Sam Ratulangi, saya segera merasakan keterbelakangan masyarakat tersebut.
Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21, Kelompok 70, dan sebagainya, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu "kampung".
Literatur mengenai masyarakat ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan fasilitas kesehatan modern. Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.
Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat bertemu dengan tiga orang Polahi yang telah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".
Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kelompok 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak mempunyai anak, sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan mudah dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan masyarakat ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia.
Ketika menghadiri seminar mengenai masyarakat terasing suku Laut di Pekanbaru, yang diteliti Drs. Alimandan dan kawan kawan dari Universitas Riau, saya merasakan tingkat keterasingan yang sangat berbeda dengan Polahi. Mereka menamakan suku bangsanya sebagai Duanu. Mata pencaharian utama mereka adalah menangkap ikan. Mereka mempunyai bahasa sendiri, tapi dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu dan beragama Islam.
Mereka sudah mempunyai keinginan untuk bermukim, tetapi mayoritas belum memiliki rumah sendiri. Di desa penelitian, Tanjung Pasir, mereka adalah pendatang. Desa ini dihuni 278 KK, dan mereka berbaur dengan etnik lainnya, yakni Bugis, Banjar, Minang, Melayu, dan Jawa. Mereka masih terbelakang dalam pendidikan. Angka putus sekolah sangat tinggi karena anak segera ditarik dari sekolah kalau sudah bisa melaut.
Hidup mereka berorientasi ke laut. Mitos mereka mengkatakan: daratan adalah persinggahan dan perahu adalah singgasana. Kini mereka sudah bermukim di darat walau keadaannya masih memprihatinkan. Sebagai "nelayan pantai", kawasan penangkapan ikan mereka sudah overfishing, dan perlu diarahkan agar mereka menjadi "nelayan laut".
Rasanya, adakalanya status masyarakat terasing dapat dipertanyakan. Ketika saya baca sebuah dokumen Departemen Sosial yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo ada proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Desa Kuta Kendit, Kecamatan Mardingding, saya pun terkejut. Sebagai orang Karo, saya bertanya dalam hati: apakah ada masyarakat terasing dalam masyarakat kami? Lokasinya dekat Desa Kuta Pengkih.
Di Medan, saya memperoleh dokumen mengenai hasil penelitian proyek PKMT Kuta Kendit. Ternyata orang setempat, seperti penduduk Desa Kuta Pengkih dan Cerumbu, heran bahwa mereka digolongkan sebagai masyarakat terasing. Memang jalan yang baik belum ada, tapi di Kuta Pengkih sudah ada dua jip Willys milik penduduk untuk mengangkut penumpang. Mereka masih melakukan ladang berpindah, dan mempunyai dangau di ladang. Tapi apakah itu cukup menjadi syarat untuk disebut sebagai masyarakat terasing?
Penduduk Kuta Pengkih yang dianggap terasing tersebut sudah mempunyai SD enam kelas, puskesmas, pasar tiap Kamis, dua lapangan olahraga untuk sepak bola dan voli, dua unit meja bilyar, televisi dengan parabola di dua kedai kopi, dan ada generator listrik milik pribadi yang disalurkan kepada penduduk lainnya. Mereka tak merasa tertinggal jika dibandingkan dengan masyarakat Karo lainnya. Untuk pendidikan lanjutan, anak-anak mereka disekolahkan ke tempat lain, dan ada yang sudah lulusan perguruan tinggi.
Bagaimanakah nasib PKMT Kuta Kendit? Karena penduduk setempat kurang tertarik untuk pindah ke situ, akhirnya mayoritas penghuninya adalah orang luar. Hanya lima keluarga yang merupakan penduduk setempat. Selebihnya orang luar yang berasal dari luar Kecamatan Mardingding, dan malah dari luar Kabupaten Binjai serta Medan. Jadi, kecuali suku Karo, PKMT Kuta Kendit dihuni oleh suku Toba, Pakpak, Simalungun, dan Jawa.
Untuk mendapatkan fasilitas, mereka memilih menjadi anggota masyarakat terasing. Maka terciptalah sebuah PKMT yang penuh dengan migran.
Lalu dibuat tiga kategori keterasingan: kelompok yang disebut kelana, menetap sementara, dan hidup menetap. Sampai akhir Pelita V, anggota masyarakat terasing diperkirakan berjumlah 236.282 kepala keluarga (KK) atau 1.033.197 jiwa, terdiri dari 370 suku atau subsuku, tersebar di 20 provinsi dan 94 kabupaten.
Ketika beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi para peneliti masyarakat terasing (suku Polahi) di Kabupaten Gorontalo, di bawah pimpinan Prof. John Goni dari Universitas Sam Ratulangi, saya segera merasakan keterbelakangan masyarakat tersebut.
Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21, Kelompok 70, dan sebagainya, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu "kampung".
Literatur mengenai masyarakat ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan fasilitas kesehatan modern. Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.
Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat bertemu dengan tiga orang Polahi yang telah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".
Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kelompok 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak mempunyai anak, sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan mudah dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan masyarakat ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia.
Ketika menghadiri seminar mengenai masyarakat terasing suku Laut di Pekanbaru, yang diteliti Drs. Alimandan dan kawan kawan dari Universitas Riau, saya merasakan tingkat keterasingan yang sangat berbeda dengan Polahi. Mereka menamakan suku bangsanya sebagai Duanu. Mata pencaharian utama mereka adalah menangkap ikan. Mereka mempunyai bahasa sendiri, tapi dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu dan beragama Islam.
Mereka sudah mempunyai keinginan untuk bermukim, tetapi mayoritas belum memiliki rumah sendiri. Di desa penelitian, Tanjung Pasir, mereka adalah pendatang. Desa ini dihuni 278 KK, dan mereka berbaur dengan etnik lainnya, yakni Bugis, Banjar, Minang, Melayu, dan Jawa. Mereka masih terbelakang dalam pendidikan. Angka putus sekolah sangat tinggi karena anak segera ditarik dari sekolah kalau sudah bisa melaut.
Hidup mereka berorientasi ke laut. Mitos mereka mengkatakan: daratan adalah persinggahan dan perahu adalah singgasana. Kini mereka sudah bermukim di darat walau keadaannya masih memprihatinkan. Sebagai "nelayan pantai", kawasan penangkapan ikan mereka sudah overfishing, dan perlu diarahkan agar mereka menjadi "nelayan laut".
Rasanya, adakalanya status masyarakat terasing dapat dipertanyakan. Ketika saya baca sebuah dokumen Departemen Sosial yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo ada proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Desa Kuta Kendit, Kecamatan Mardingding, saya pun terkejut. Sebagai orang Karo, saya bertanya dalam hati: apakah ada masyarakat terasing dalam masyarakat kami? Lokasinya dekat Desa Kuta Pengkih.
Di Medan, saya memperoleh dokumen mengenai hasil penelitian proyek PKMT Kuta Kendit. Ternyata orang setempat, seperti penduduk Desa Kuta Pengkih dan Cerumbu, heran bahwa mereka digolongkan sebagai masyarakat terasing. Memang jalan yang baik belum ada, tapi di Kuta Pengkih sudah ada dua jip Willys milik penduduk untuk mengangkut penumpang. Mereka masih melakukan ladang berpindah, dan mempunyai dangau di ladang. Tapi apakah itu cukup menjadi syarat untuk disebut sebagai masyarakat terasing?
Penduduk Kuta Pengkih yang dianggap terasing tersebut sudah mempunyai SD enam kelas, puskesmas, pasar tiap Kamis, dua lapangan olahraga untuk sepak bola dan voli, dua unit meja bilyar, televisi dengan parabola di dua kedai kopi, dan ada generator listrik milik pribadi yang disalurkan kepada penduduk lainnya. Mereka tak merasa tertinggal jika dibandingkan dengan masyarakat Karo lainnya. Untuk pendidikan lanjutan, anak-anak mereka disekolahkan ke tempat lain, dan ada yang sudah lulusan perguruan tinggi.
Bagaimanakah nasib PKMT Kuta Kendit? Karena penduduk setempat kurang tertarik untuk pindah ke situ, akhirnya mayoritas penghuninya adalah orang luar. Hanya lima keluarga yang merupakan penduduk setempat. Selebihnya orang luar yang berasal dari luar Kecamatan Mardingding, dan malah dari luar Kabupaten Binjai serta Medan. Jadi, kecuali suku Karo, PKMT Kuta Kendit dihuni oleh suku Toba, Pakpak, Simalungun, dan Jawa.
Untuk mendapatkan fasilitas, mereka memilih menjadi anggota masyarakat terasing. Maka terciptalah sebuah PKMT yang penuh dengan migran.
Sumber: Majalah Berita Mingguan GATRA, 13 Januari 1996 ( No.9/II ).
Rubrik : KOLOM
Rubrik : KOLOM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar