Sabtu, 16 Agustus 2014

Protes Masri Singarimbun

Oleh Juara R Ginting

Kolom Masri Singarimbun di Gatra yang dikirimkan Kaka MU Ginting berkata: "Di Medan, saya memperoleh dokumen mengenai hasil penelitian proyek PKMT Kuta Kendit. Ternyata orang setempat, seperti penduduk Desa Kuta Pengkih dan Cerumbu, heran bahwa mereka digolongkan sebagai masyarakat terasing."

Dokumen yg dia maksudkan adalah skripsi sarjana dari Arnol F. Barus berjudul "MASYARAKAT TERASING: Studi tentang asal usul Konsep Masyarakat Terasing di Indonesia dan Kehidupan Petani Ladang di Desa Kuta Pengkih Kecamatan Mardingding Kabupaten Karo" (1995).

Skripsi ini dipertahankan pada bulan September 1995 di Jurusan Antropologi FISIP USU Medan. Kebetulan Pak Masri saat itu ada di Medan dalam perjalanannya ke Aceh untuk proyek penelitian masyarakat terasing yang dikoordinir oleh antropolog Dr. S. Budhisantoso (sekarang ketua salah satu partai politik di Indonesia yg capresnya sedang naik daun).

Saya, sebagai Pembimbing I skripsi itu, meminta Pak Masri menjadi penguji tamu. Selain untuk menambah prestige skripsi itu, karena saya anggap bagus sekali, saya ingin mendapat masukan-masukan dari Pak Masri tentang permasalahan yang dibahas. Kesan saya waktu itu, Pak Masri lebih memberikan penekanan pada soal-soal praktis. "Biarkan saja, supaya uang mengalir dari pusat ke orang Karo" katanya pada saya setelah selesai ujian itu.

Tulisannya yang dikirimkan Kaka MU Ginting tadi, yang tak kukenal selama ini, menampakan adanya perubahan pikirannya dalam beberapa bulan setelah kami sedikit "berdebat" tentang permasalahan tsb.

Aku lebih menekankan kepada soal konsep. Kataku padanya: "Konsepnya saja sudah diskriminatif. Tak bisa dihindarkan, proses pengambilan kebijaksanaan tentang masyarakat itu sendiri pasti diskriminatif."

Baru sekarang aku mengetahui bahwa dia ternyata merubah pikirannya dalam kolomnya itu. Kayaknya, dia mulai setuju dengan penekananku pada persoalan konsep (baca baik-2 kolomnya yg kuikutkan di bawah ini)

Begini soalnya mengenai proyek rehabilitasi suku terasing di Kuta Kendit itu. Adanya Keppres 1958 bahwa Karo adalah suku terasing yang sampai sekarang belum pernah dicabut oleh pemerintah pusat, memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk membangun pusat rehabilitasi masyarakat terasing di Kab. Karo. Pengambil keputusan di Jakarta tampaknya hanya berpedoman kepada dokumen2/ arsip2 di atas kertas. Tanpa melihatnya sendiri ke lapangan. Kalau perwakilan daerah bilang bahwa Karo masih terasing, dengan foto-foto yang memperkuat argumen (layaknya sebuah shooting film dengan penata riasnya agar kelihatan primitif), tak bisa tidak orang pusat harus percaya.

Seperti tersirat dalam "subject" postingnya MUG, "Karo Sebagai Alat Cari Dana", Pak Masri saat itu kurang menyadari bahwa kata Karo hanya dipakai untuk jendela mengalirnya uang dari pusat. Apakah uang itu betul untuk Karo Énda Ndai? Tampaknya, setelah beberapa bulan debat kami itu baru dia menyadari bahwa kejadian yang sebenarnya adalah seperti judul postingnya MUG. Ém kap adi kalak bujur, akapna kalak pé bagi ia é kerina bujurna.

Akhirnya, seperti dia sebut dalam kolomnya itu, dia sendiri ikut memprotes konsep bahwa Karo adalah suku terasing.

Mengapa Keppres 1958 itu menetapkan Karo sbg suku terasing? Konsep suku terasing di masa itu sangat lain dengan konsep masyarakat terasing di masa Orde Baru. Di masa Orla, suatu kelompok masyarakat dikatakan terasing karena belum ada satupun diantara lima agama resmi sebagai agama dominan. Saat itu belum ada 3% orang Karo yang beragama Kristen atau Islam. Keppres 1958 itu mengisyaratkan (wanti-wanti) bahwa semua agama berhak melakukan missi ke Karo. Di masa Orba, konsep masyarakat terasing itu penekanannya di soal perhubungan (lalu lintas, informasi dan komunikasi). Konsep ini memberi peluang kepada investor untuk melakukan investasi di sana, terutama yang MEMBUKA daerah itu dari keterisolasian (menebang hutan, bangun jalan utk mengangkut hasil bumi, membuka perkebunan dll). Segala investasi yang membuat daerah itu TERBUKA harus disambut positip oleh semua pihak. Adi la mendukung, antik bedil.

Seperti dijelaskan dlm skripsi Arnol F. Barus, persamaan antara konsep terasing di masa Orla dan Orba adalah sebuah "cap" bahwa daerah tertentu TERBUKA untuk sesuatu. Di Orla, terbuka tehadap semua agama; di Orba terbuka untuk semua investasi yang membuat daerah ybs. betul-betul TERBUKA. Ngeri juga membayangkan yang belakangan ini. Kekayaan alam kita secara tidak langsung adalah milik negara-negara Barat (pikirkan dua entah tiga kali tentang hal ini. Ula kari kam mis ka maké istilah "seperti senior-senior kami di milis ini".)

Setelah G30S '65, pemerintah pusat memetakan Karo sebagai wilayah DGI. Ada bagi-bagi wilayah "agama" saat itu di Indonesia. Ini wilayah NU, yang ini wilayah Muhamadiyah, itu wilayah Protestan, itu wilayah Katolik, sana wilayah Hindu, dlsb. Terjadi kapling mengklaping. Tak heran kalau organisasi-2 agama mendekati para jenderal saat itu yang punya kuasa besar terhadap kapling-mengkapling ini. Dan, akibat itu semua, masih terasa sampai sekarang. Zhu bukanlah dirinya sendiri. Kalau hanya dirinya sendiri, enggom ndekkah munggil.

Sedikit asah otak tentang politik, naké and nakwé. Jangan lupa sejarah.

Sumber: Milist Tanahkaro 24 Juli 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar