Senin, 17 November 2014

Budaya Rebu Pada Masyarakat Suku Karo


Ilustrasi: Pegelaran Budaya Karo di Museum Pusaka Karo Berastagi
Pengertian rebu dalam bahasa Karo adalah sesuatu yang dianggap suci berkaitan dengan sopan santun, larangan, pantangan, tidak bebas atau sesuatu yang dibatasi. Dengan Kata lain, rebu merupakan etika dalam ukuran maupun pedoman bertingkah laku yang mengatur baik buruknya tindakan seseorang dalam masyarkat adat Karo.

Menurut Darwan Prints SH, pelaksanaan rebu dalam masyarakat Karo ada 5 macam, yaitu:

1. Rebu Ngerana (Dilarang, pantang bicara)

Rebu ngerana disini bukan berarti tidak boleh berbicara, melainkan ada sesuatu yang membatasi dalam berbicara, pembatasan tersebut merupakan norma atau tata krama dalam berbicara yang telah disepakati oleh masyarakat Karo, sehingga tidak bebas berbicara.

Hal ini sering kali dipahami secara dangkal dan mengartikan sebagai tidak bisa berbicara sama sekali, padahal kata Darwan Prints yang dikenal sebagai penulis buku sejarah dan kebudayaan Karo ini, rebu ngerana hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Umpamanya "antara Mami dan Kela" (Istri abang /adik ipar dengan abang/ adek ipar)

Rebu ngerana ini juga berlaku bagi kalimbubu terhadap anak berunya. Tapi disini , rebu ngerana dalam arti sopan santun, dimana anak beru tidak berbicara tidak sopan atau bertingkah laku tidak senonoh terhadap kalimbubunya.

Rebu ngerana ini juga berlaku antara laki-laki dan perempuan atau antara perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki. Namun untuk berbicara antara laki-laki dengan perempuan yang rebu dapat mempergunakan perantara manusia atau benda lainnya. Jelas Darwin Prints.

Misalnya, "O…tongat, manken ningen man turangku ena! (O tongat suruh makan turangku (rebu) ena!". Atau kadang-kadang dapat juga disebut nina. "Manken nina turangku! (makan kata turangku!)". Prinsipnya pembicaraan itu harus sopan untuk menjaga moral masyarakat.

Sedangkan Rebu ngerana antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, pelaksanaanya ditemui ketika berbicara/bertingkah laku kurang sopan, berseloroh ketika ada pihak rebu hadir dalam pertemuan itu.

Kode etik tersebut, ujar Darwin Prints yang juga pengarang buku "adat Karo" dan juga "Runggu ibas Merga Silima" ini bukan saja belaku pada pihak rebu, tapi setiap orang yang ada di arena pertemuan tersebut. Pelanggaran atas hal itu dapat menyebabkan timbulnya pekelahian bahkan pembunuhan.

2. Rebu La arus

Rebu La arus menyangkut larangan mengikat hubungan asmara antara pemuda-pemudi yang memiliki marga yang sama dan mereka tidak boleh terikat dalam suatu perkawinan. Misalnya laki-laki bermarga Ginting tidak akan mendatangi kelompok yang mana ada disitu beru Ginting. Istilah Karo nya adalah Turang atau Turang impal. (Saudaranya)

Demikian juga sebaliknya, perempuan akan pergi dari kelompoknya jika ada mengetahui ada laki-laki atau Turangnya akan datang ke kelompoknya. Hal ini berlaku diantara mereka menurut adat dilarang untuk dikawini.

Untuk memelihara Rebu ini, menurut hemat saya dapat diangkat dalam perda (peraturan desa) tentang adat atau peraturan daerah kabupaten tentang adat, jelas Darwan Prints yang dikenal sebagi budayawan Karo ini.

3. Rebu Tapin/Lau (larangan mandi bersama)

Rebu tapin/lau merupakan larangan mandi bersama di tempat pemandian/tapin antara orang-orang yang menurut adat "erselisih" (beripar) atau antara "Mama dengan Kela" (Bapak mertua dengan menantu laki-laki)

Rebu tapin ini berlaku antara sesama lelaki di tempat dan waktu yang bersamaan bagi orang berselisih (beripar ), kela dengan mama, juga antara orang menurut tutur (silsilah) adalah "erselisih". Jika larangan ini dilanggar, kata Darwan Prints dapat dikenakan hukuman adat "Nabei" (denda adat) yakni dengan memotong hewan dan memberi makan semua penduduk kampung, sehingga pada Zaman dahulu semua orang kampung harus menjalankan rebu ini.

Zaman dahulu, tutur Darwan Prints, ketika seseorang mendekati pemandian, biasanya ia akan berbicara agak keras atau pura-pura batuk (mendehem) dengan maksud agar didengar oleh orang yang sedang mandi ditempat pemandian umum. Jika kode tersebut dibuat, biasanya ada jawaban."Tunggu dulu" rebundu masih dipemandian.

Rebu tapin juga berlaku bagi eda dengan beru (istri saudara laki- laki dengan saudara perempuan) dalam praktik penerepannya, jika keduanya makan sirih, biasanya tidak mengambil kapur/gambir ditempat yang sama. Pelanggaran atas rebu ini mendapat celaan masyarakat.

4. Rebu Erdahin (Pantangan bekerja)

Rebu erdahin ini merupakan pantangan melakukan pekerjaan selama empat hari setelah merdang-merdem (Menanam padi ) atau dilarang membawa sayuran atau benda-benda yang berngiang ke rumah selama empat hari setelah merdang-merdeng tersebut. Menurut hemat saya, rebu ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban serta sopan santun bermasyarakat. Ujar Darwan tokoh adat Karo ini.

5. Rebu api (Larangan bersetubuh)

Rebu api ini merupakan larangan bersetubuh antara suami istri yang baru melahirkan atau baru "Dumberat" (Tidur dekat perapian karena baru melahirkan), jika larangan ini di langgar akibatnya sangat fatal bisa menyebabkan perceraian.

Dalam kehidupan masyarkat adat Karo, penghayatan akan adat rebu masih berlaku di sebagian daerah hingga saat ini. Tapi hampir-hampir nyaris punah ditelan zaman modrenisasi, sebab jika rebu ini diterapkan, maka hal tersebut dianggap menyulitkan bagi masyarakat yang akhirnya satu-persatu dihilangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar