Oleh Juara R Ginting (Antropolog/Budayawan Karo)
Ada empat gunung utama di Tanah Karo, Sibuaten, Sipisopiso, Sinabung, dan Sibayak. Keempat gunung ini berkaitan satu sama lain seperti empat jabu suki di rumah adat Karo. Jabu adalah bagian tempat tinggal satu keluarga di rumah adat. Rumah adat Karo biasa terdiri dari empat jabu atau 6,8,12 atau 16 (pernah ada 24 jabu di Desa Seberaya). Begitupun, semua rumah adat ini tetap mewakili 4 kategori utama struktur sosial Karo, Sembuyak (satu kandungan atau kelompok orang satu asal), Anak Beru (kelompok seasal pihak pengambil dara), Kalimbubu (kelompok satu asal pemberi dara), dan Senina (kelompok asal lain tapi punya hubungan sama dengan sembuyak).
Rangkaian keempat gunung itu membedakan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) dengan Karo Jahe (Karo Hilir). Dataran Tinggi Karo meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagain Kabupaten Dairi. Sedangkan Karo Hilir meliputi Langkat Hulu, Deli Hulu dan sebagian Selatan Kota Medan dengan Kantor Pos Medan sebagai titik tengah.
Garis lurus yang menghubungkan Gunung Sinabung dengan Gunung Sibuaten membedakan pula Karo Julu (Karo Timur) dengan Karo Berneh (Karo Barat). Karo Timur merayakan pesta tahunan pada masa musim tanam padi ladang (merdang) sedangkan Karo Barat pada masa musim panen (rani). Beberapa kampung yang berada di kaki Gunung Sinabung, sebuah wilayah yang disebut Gunung-gunung atau Teruh Deleng, merayakan pesta tahunan pada musim pada berbunga (mbeltek atau erbunga benih). Sebagian daerah ini masuk ke Karo Timur dan sebagian ke Karo Barat.
Untuk memulai upacara tanam padi ladang, petani membuat sebuah ritual di tengah ladangnya dengan mengarahkan sirih persembahan ke Gunung Sibuaten, tapi saat selesai memanen padi, mereka meletakkan sirih persembahan di atas timbunan hasilpanen dengan mengarahkannya ke Gunung Sinabung.
Secara umum, masyarakat Karo melihat gunung-gunung saling terkait satu sama lain merepresentasekan hubungan sosial antarwilayah. Sebuah mitos, misalnya, menceritakan kisah persaingan antara Gunung Sinabung dengan Gunung Sibayak dalam memperebutkan seorang gadis cantik, Gunung Barus. Terjadilah pertempuran hingga, akhirnya, Gunung Sinabung memancung leher Gunung Sibayak hingga kepalanya tercampak menjadi Deleng Kutu (dekat Desa Gurusinga). Banyak orang menduga kisah ini terkait dengan peristiwa letusan Gunung Sibayak yang terakhir.
Hingga tahun 1970-an banyak muda-mudi Karo yang menjalin cinta mendaki Gunung Sinabung atas kepercayaan bahwa, bila mereka berhasil mendaki puncaknya, berarti hubungan mereka akan sampai tingkat perkawinan.
Ritual Gunung Sinabung biasanya diadakan di Danau Lau Kawar dengan melepaskan seekor ayam hidup bersama sesajen lain di sana dan kemudian mandi menyucikan diri di danau dengan menggunakan ramuan dedaunan obat untuk mencuci kepala/keramas (erpangir). Di Gurukinayan, mereka juga sering mengadakan ritual penyembahan terhadap Gunung Sinabung bila mereka mengalami wabah atau tanda-tanda bahaya.
Ada tiga lokasi ritual terpenting berkaitan dengan gunung di Tanah Karo, yakni mata air panas Lau Debukdebuk, Sibiangsa (panas bumi) di Gunung Pertekteken, dan Kawah Gunung Sibayak. Ketiganya terhimpun dalam mitos Guru Penawar. Dengan ringkasan kisahnya sebagai berikut.
Suatu hari Guru Penawar pergi ke ladangnya. Dia menemukan Dibata (Tuhan) di gubuknya. Karena Dibata tidak mau keluar dari gubuknya, mereka terlibat pergulatan sengit hingga akhirnya Dibata dihimpit oleh Guru Penawar. Dibata minta dilepaskan dengan menjanjikan akan memberinya sebuah pundi-pundi (kandi-kandi) berisi tepung (pupuk) yang bisa menyembuhkan sebagala penyakit dan juga menghidupkan orang yang sudah mati asal masih tersisa paling tidak tulangnya sebesar sisir saja. Guru Penawar membebaskan Dibata. Tempat itu kemudian dinamai Kandibata yang berasal dari kata Kandi-Kandi (Pundi-pundi) Dibata (Tuhan). Sejak itulah dia dikenal sebagai Guru Penawar (Dukun Penyembuh) hingga akhirnya dia tiba di Tanah Alas menghidupkan kembali putra raja Alas yang telah mati. Suatu saat, kedua putrinya terkena wabah cacar (reme). Hingga kedua putrinya mati dia tidak sempat datang menyembuhkannya.
Keramat Gunung Sinabung, Kertah ernala (harafiah: Belerang Menyala), mencuri tulang kedua putrinya dan membawanya ke Gunung Sibayak. Guru Penawar sangat kecewa dan bersedih sekali. Kedua roh putrinya, Tandah Riah dan Tandang Suasa, memberinya kesempatan berkomunikasi untuk terakhir kalinya di Gunung Pertekteken. Setelah berkomunikasi, Guru Penawar mencampakkan pundi-pundinya dan tanah tempat pundi-pundi tercampak menjadi panas hingga menjadi Sibiangsa seperti sekarang.
Kedua putrinya ini suka mandi di mata air panas Lau Debukdebuk. Kadang-kadang mereka menggoda para pelintas di sekitar Penatapen (tempat jual jagung sekarang). Di sana juga terdapat sebuah tempat keramat untuk memberi sesajen.
Mata air panas Lau Debukdebuk semakin populer menjadi tempat ritualbagi orang-orang Karo dari seluruh Taneh Karo sejak tahun 1967, terutama pada hari Cekura Dudu (hari ke 13) dalam kalender Karo setiap bulannya. Tapi, sebagian dukung Karo melakukan upacara yang sama di kawah Gunung Sibayak atau Pertektekken.
Sumber: Tribun Medan edisi cetak 20 November 2013