Rabu, 27 November 2013

Renesans Karo

Oleh: M.U. Ginting (Swedia)
Terkait dengan perdebatan tentang gencarnya seruan “Karo bukan Batak” di berbagai forum diskusi internet sekarang ini, menurut Robinson Ginting Munthe di mailing list Tanah Karo, ini timbul karena: “Munculnya kesadaran komunal terutama dimulai generasi muda Karo yang terdidik atas pencarian, penelusuran dan pelurusan jati diri mereka sebenarnya. Tentu saja ke-Karo-an makin menguat sejalan dengan menguatnya kesadaran untuk bertahan di tengah-tengah perebutan pengaruh macam-macam hal (Milis Tanahkaro 31 Agustus 2011).






            Renesans Karo, gerakan pembebasan terutama secara politik dan kultural atau secara etnis, bisa dikatakan memuncak secara drastis pada permulaan era reformasi. Di bagian dunia lainnya sudah memuncak pada era kejatuhan kekuasaan sosialis/komunis di Eropah Timur. Gerakan di Karo terutama dipelopori oleh pemuda/mahasiswa yang dengan orgnisasinya menyandang nama Karo atau etnis Karo, serta aksi-aksi mereka mengembangkan dan mempertahankan warisan/pusaka Karo seperti aksi di sekitar monumen Guru Patimpus di Medan, gerakan seni budaya dalam musik, tari, lagu, teater, film dll, yang sangat drastis meluas ke seluruh Tanah Air maupun luar negeri. Ini selalu dilaksanakan secara kolektif (kerjasama sesama Karo) atau dengan orang di luar Karo sehingga juga menunjukkan keakraban sejati etnis Karo.
Tekanan ‘sukuisme’ pada era lalu, pada zaman Orla dan terutama Orba, sangat mengancam keberadaan dan perkembangan Karo sebagai satu entitas kebudayaan tersendiri. Dalam persaingan etnis yang sangat sengit, tetapi ditutupi dan ditakut-takuti dengan istilah sukuisme atau SARA, tetapi di pihak lain perkembangan sukuisme sangat pesat dengan dukungan pemerintah serta etnis-etnis mayoritas dominan mengembangkan politik etnisnya dengan sangat lihai dan licik. Misalnya, dengan alasan ‘satu nusa satu bangsa’, ‘persatuan dan kesatuan’, dsb.
Karo salah satu etnis minoritas yang tidak licik, mengalami kerugian besar. Dairi Karo dimasukkan ke Taput, dan berduyunlah perpindahan orang-orang Batak ke Dairi Karo. Di Kuta Pengkih (Kec. Mardinding, Kab. Karo), dibuat proyek berkedok Proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Bukan hanya untuk mendapat tanah tapi juga dana dari Pemerintah Pusat dan untuk memudahkan pembalakan hutan. Hal ini pernah diprotes oleh Prof. Dr. Masri Singarimbun semasa hidupnya melalui tulisannya di majalah GATRA (13 Januari 1996). Menurutnya:
“… Karena penduduk setempat kurang tertarik untuk pindah ke situ, akhirnya mayoritas penghuninya adalah orang luar. Hanya lima keluarga yang merupakan penduduk setempat. Selebihnya orang luar yang berasal dari luar Kecamatan Mardingding, dan malah dari luar Kabupaten Binjai serta Medan. Jadi, kecuali suku Karo, PKMT Kuta Kendit dihuni oleh suku Toba, Pakpak, Simalungun, dan Jawa …”.
 Demikian juga desakan dan tekanan atas etnis-etnis asli lainnya seperti Dayak dan Papua, etnis-etnis minoritas di Poso, Maluku dsb. Gerakan renesans Karo dalam ethnic rivival atau cultural revival yang sejalan dengan ethnic revival dunia pada umumnya telah menghasilkan kemajuan dalam banyak hal. Bahkan telah menjadi salah satu faktor yang mendorong etnis-etnis lain terpaksa ‘hengkang’ dari Sumut bikin propinsi sendiri. Halangan terbesar dari pusat, karena di sana masih bercokol pikiran lama soal ‘persatuan dan kesatuan’ atau ‘satu nusa satu bangsa’. Juga di badan kekuasaan daerah masih banyak bercokol peminat  dan pencinta ‘persatuan dan kesatuan’.
Salah satu yang berubah secara drastis adalah jati diri kekaroan. Kita sangat bangga dengan perubahan yang sangat penting ini. Pembebasan Karo dari ikatan Batak adalah satu rentetan pembebasan yang sangat penting. Jati diri Karo tidak mungkin terikat oleh apapun yang lain selain Karo. Jati diri adalah kesejatian. Artinya, sejati tidak campur aduk dan tidak dikaburkan oleh apapun yang lain. Itulah namanya sejati, itulah namanya jati diri.

Dengan pendalaman dan peningkatan arti yang sangat perkasa dalam jati diri ini (jati diri Karo), kita sekarang terus berjuang dan dalam perjalanan pembebasan yang sempurna secara kultural maupun politis (kekuasaan Karo) dan juga seterusnya secara ekonomi. Karo telah lahir kembali sebagai Karo yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar