Oleh: Juara R Ginting
Di jaman Pre Kolonial, kebanyakan rumah adat Karo terdiri dari 4 jabu (rumah si empat jabu). Rumah adat yang terdiri dari 8 jabu (rumah si waluh jabu) menjadi lebih disukai di Jaman Kolonial. Namun begitu, baik di Jaman Pre Kolonial maupun di Masa Kolonial, bisa didapati rumah 4 jabu dan rumah 8 jabu. Di samping itu, ada rumah-rumah 6 jabu dan 12 jabu. Di Batukarang pernah dibangun rumah 16 jabu dan di Seberaya pernah ada rumah 24 jabu.
Apa yang kita katakan sekarang ini rumah adat dulunya cuman disebut rumah oleh orang-orang Karo karena memang hanya itu satu-satunya rumah di masa lampau. Bangunan lain yang biasa juga dijadikan tempat tinggal adalah barung, yaitu dangau atau gubuk tempat tinggal satu keluarga di ladang.
Sebuah daerah pertanian memiliki status sebagai kuta (desa) bila di sana dibangun paling tidak sebuah rumah adat. Tanpa adanya rumah adat, sebuah wilayah pertanian disebut perjuman (perladangan) atau barung-barung bila sekelompok warga membangun gubuk-gubuk tempat tinggal di sana.
Orang-orang Karo sekarang ini mengangap orang-orang Karo yang tinggal di daerah Langkat Hulu dan Deli Hulu sebagai pendatang yang berasal dari wilayah Kabupaten Karo sekarang. Tidak heran kalau generasi muda Karo sekarang menganggap Taneh Karo terbatas pada wilayah Kabupaten Karo sekarang. Padahal, di Masa Pre Kolonial telah ada rumah-rumah adat Karo di Langkat Hulu (Kabupaten Langkat), Deli Hulu (Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang), Silima Kuta (Kabupaten Simalungun) dan Taneh Pinem (Kabupaten Dairi).
Adanya rumah adat Karo adalah pertanda wilayah pertanian di sekitarnya adalah desa Karo. Setiap desa Karo berarti sebuah daerah asal (Taneh Kemulihen) bagi merga tertentu.
Ketika Jhon Anderson dari Inggris mengunjungi wilayah Pantai Timur Sumatra di tahun 1823 dia menemukan Desa Sunggal yang dipenuhi sekitar 50 rumah adat Karo. Hal ini dilaporkannya dalam bukunya yang berjudul The Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 (terbit 1826 dan terbit ulang 1971). Beberapa penulis lain di Masa Pre Kolonial melaporkan adanya terdapat rumah-rumah adat Karo di Desa Lau Cih. Sekarang ini, Sunggal dan Laucih masuk ke wilayah Pemko Medan.
Jangankan orang-orang non Karo, orang-orang Karo sendiri yang generasi muda sulit mempercayai bahwa kampung-kampung Karo di Langkat Hulu, Medan bagian Selatan, Deli Hulu, Silima Kuta dan Taneh Pinem sudah sejak Masa Pre Kolonial merupakan bagian dari Taneh Karo Simalem, daerah asal suku Karo.
Pelestarian rumah adat Karo punya arti besar terhadap sejarah dan identitas suku Karo.
Memang, rasa nasionalisme yang tinggi pada orang-orang Karo telah menjadi malapetaka untuk rumah adatnya. Di masa Agresi Belanda I dan II (1947-1949), hampir keseluruhan orang Karo menolak bergabung dengan negara boneka bentukan Belanda, Negara Sumatra Timur, dan tetap setia kepada NKRI yang dipimpin oleh Sukarno-Hatta saat itu. Bahkan untuk menunjukkan penolakan total kepada Negara Sumatra Timur, para laskar Karo membakar kampung-kampung Karo untuk mendesak para warga mengungsi.
Sebagian besar kampung Karo habis terbakar saat itu. Hanya beberapa yang tersisa seperti Lingga, Barusjahe, Dokan, Peceren, Bintangmeriah, dll. Beberapa desa coba membangun kembali puing-puing rumah adat mereka. Desa Gurusinga, misalnya, membangun rumah-rumah adat di tahun 1950an. Beberapa desa lain seperti Gurukinayan, Berastepu dan Beganding membangun rumah-rumah 8 jabu dengan konstruksi baru.
Sejak itu, tidak ada lagi rumah adat Karo dibangun. Beberapa rumah adat Karo yang tinggal perlu dilestarikan sebagai monumen sejarah. Konsep taneh kemulihen tak terlepas dari kuta kemulihen dan sebuah wilayah disebut kuta (bukan desa) setelah ada satu rumah adat berdiri menjadi pusatnya.
Sumber:
Karosiadi.blogspot.com